Oleh : Anna Fadhla, S.Pd.I.,M.M
Karakter bukanlah hal baru dan tabu untuk dibahas. Sejak zaman dahulu persoalan akhlaq ini sudah menjadi topik pembahasan, bahkan menjadi fokus utama dalam berbagai kajian dan study ilmiah.
Tidak ada manusia yang tidak bersinggungan dengan unsur yang satu ini. Bahkan pembentukan karakter menjadi salah satu dimensi yang wajib diperhatikan dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Demikian juga untuk berbagai kurikulum yang sudah pernah diterapkan di nusantara tercinta ini. Hanya wujud dan namanya saja yang berbeda. Bahkan untuk ke depannya, apapun bentuk kurikulum yang akan dilahirkan, pendidikan karakter dirasakan tetap harus menjadi pilar penyangga utama dalam dunia pendidikan.
Mengapa hal yang menjadi penyebab Rasulullah SAW diturunkan ke dunia ini sebagaimana tersebut dalam salah satu hadist yang artinya ”Sesungguhnya Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia” menjadi begitu penting? Kapan pembentukan karakter mulia harus dimulai? Siapa yang paling bertanggung jawab dalam urusan pembentukan karakter anak?
Anak adalah cerminan diri orang tuanya. Tidak ada orang tua yang ingin malu dikarenakan anaknya. Namun satu hal yang tidak pernah kita pahami dengan mendalam bahwa sebenarnya anak belajar lebih banyak dari pengalaman yang dialami, dilihat, didengar dan dirasakannya. Dan keluarga adalah lembaga pendidikan pertama bagi setiap anak. Baru diikuti dengan lingkungan dan komunitas lainnya tempat anak lebih banyak menghabiskan waktunya dalam berinteraksi.
Orang dewasa memegang peranan penting dalam proses pembentukan karakter anak. Mewujudkan budaya positif di lingkungan sekitar tempat tumbuh kembangnya anak merupakan kewajiban kita orang dewasa. Jika kita memang berniat baik untuk bisa melahirkan anak-anak dengan kompetensi diri yang baik, maka kita harus membangun aura positif yang mendukung proses tumbuh kembang mereka sesuai dengan usia dan zaman.
Mustahil mengharapkan generasi dengan akhlak dan Budi pekerti mulia jika kita mencontohkan yang sebaliknya. Setiap anak adalah sosok cerdas yang bisa memahami yang baik atau buruk bagi diri mereka sendiri.
Cukup hanya merefleksikan diri kita kembali ke saat kita masih seusia mereka. Jujurlah, kita masih bisa mengingat semua kenangan yang sudah kita lewati. Terlepas dari yang ingin dan tidak ingin kita kenang. Begitu pula dengan anak. Tuhan menciptakan kita semua dengan proses yang sama. Cuma Situasi, kondisi, dan latar belakang saja yang berbeda. Hal inilah yang nantinya menjadi cikal bakal dari proses pembentukan karakter anak. Menjadi positif atau negatifkah dia.
Sangat sedikit anak dengan latar belakang keluarga broken home yang bisa survive mengalahkan rasa sedihnya dan menjadi sosok yang luar biasa. Kita wajib mengapresiasi jika menemukan sosok anak luar biasa yang seperti itu jika mereka berada di sekita kita. Dengan seizin Allah dia pasti sudah mendapatkan hikmah atau pengalaman positif disebalik kisah hidup yang harus dijalaninya. Dan bukan tidak mungkin, sosok yang sudah menjadikan dirinya anak dengan status broken home justru yang sudah menginspirasi dirinya untuk menjadi positif.
Ada diantara sosok orang tua yang walaupun memilih untuk tidak lagi bersama namun tetap fokus berkomitmen untuk membersamai proses tumbuh kembangnya anak dengan terus memberikan kasih sayang dan perhatian yang dibutuhkan anak.
Anak yang dilatar belakangi sosok orang tua yang seperti ini, dengan lingkungan belajar yang juga nyaman, teman yang sefrekwensi dan mendukung proses tumbuh kembangnya, akan menjadi sosok yang seakan tidak mengalami persoalan hidup yang pelik. Bahkan dia akan menjadi yang terbaik diantara teman-temannya yang lain yang sama sekali tidak memiliki persoalan seperti yang dihadapinya.
Namun mengapa ada anak yang berasal dari keluarga yang berkecukupan dan terlihat tidak bermasalah yang mengalami kondisi sebaliknya? Disinilah kita dituntut untuk jujur. Minimal pada diri kita sendiri. Apa sebenarnya yang kita inginkan? Apa keinginan kita yang belum tercapai? Bagaimana cara mewujudkan keinginan kita?
Mengapa justru hal ini yang kita bahas dalam proses pembentukan karakter anak? Karena diakui atau tidak, hal inilah yang mempengaruhi kondisi emosional kita dalam berinteraksi, baik dengan anak maupun orang lain disekitar kita. Hal inilah yang dibaca oleh anak dari orang dewasa. Baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah dan lingkungan lainnya tempat dia beraktifitas. Hanya sedikit anak yang mampu merenung, berpikir positif dan bangkit dari rasa kecewa atas segala yang dialaminya. Kebanyakan justru mengumbar emosinya dalam wujud negatif.
Kecenderungan orang tua untuk memasukkan anak ke lembaga pendidikan yang bagus demi perbaikan karakter dirasakan tidak banyak membawa pengaruh saat anak justru sudah terkontaminasi terlebih dulu dengan kondisi keluarga yang kacau balau. Justru anak akan menjadi virus yang menginfeksi anak lain dalam berperilaku negatif karena pengaruh buruk yang dibawanya.
Orang tua sering sekali menyalahkan anak ketika dipanggil oleh pihak sekolah untuk menyelesaikan sebuah kasus yang melibatkan anak, atau yang paling parah justru jika sudah memasuki ranah hukum yang lebih tinggi tanpa pernah mau introspeksi diri, mengapa anak bisa seperti itu? Memang tidak tertutup kemungkinan jika anak berperilaku negatif dikarenakan paksaan teman yang dominan atas dirinya. Namun tetap juga orang tua yang seharusnya mengontrol lingkungan sosialisasi anak
Sekolah bukanlah bengkel tempat pembenahan perilaku anak. Sering didapati jawaban orang tua yang pasrah ketika tidak mampu lagi membenahi karakter anak dengan pengakuan bahwa anak di rumah saja sudah tidak bisa diatur dan menyerahkan penyelesaian sepenuhnya kepada pihak sekolah. Namun ketika sekolah juga angkat tangan dan memilih untuk mengembalikan anak kepada orang tuanya dikarenakan sikap anak yang sudah kelewat batas, orang tua tidak bisa menerima.
Sebenarnya, ketika Orang tua harus menyelesaikan persoalan yang disebabkan oleh anak diluar lingkungan keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah introspeksi diri. Bukan serta merta menyalahkan anak, temannya, lingkungannya, sekolahnya dan hal apapun yang bisa disalahkan. Bisa jadi anak pendiam dirumah dikarenakan tekanan orang tua, namun dia melampiaskan diluar. Dalam lingkungan sosialnya, baik di sekolah maupun lingkungan lainnya. Tidak sedikit anak yang labil dikarenakan tekanan batin yang dihadapi dirumah, lalu diluar dibully lagi. Sungguh berat beban yang harus dipikul oleh anak. Sulit bagi anak untuk bisa memiliki karakter yang baik kala menghadapi dilema seperti ini. Jika ingin anak memiliki karakter yang baik, maka orang dewasa harus membenahi manajemen hidup diri sendiri terlebih dahulu.
Anak adalah kertas putih dan orang tua adalah guru pertama yang menjadikannya hitam, putih atau berwarna melalui berbagai tuntunan yang baik agar tidak salah jalan. Anak adalah titipan dari ilahi yang suatu saat nanti harus kita pertanggung jawabkan keberadaannya dihadapan Allah SWT. Mari kita benahi siklus kehidupan berkarakter mulia ini dari diri kita sendiri untuk generasi Indonesia yang mulia dan bermartabat.
Penulis: Guru SMKN PP Kabupaten Bireuen