Oleh: Anna Fadhla, S.PdI.,M.M
Setiap manusia pasti memiliki cita-cita dan berkeinginan kuat untuk mewujudkannya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya beragam profesi yang terdapat di seluruh dunia dengan berbagai hal yang melatar belakanginya.
Namun upaya meraih sebuah keinginan itu bukanlah perkara yang mudah. Butuh perjuangan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Sebagai contoh ada yang sangat ingin menjadi dokter, pilot, direktur, akuntan, dan banyak lagi profesi keren yang diidamkan tapi terkendala dengan berbagai masalah seperti biaya, inteligensia, ukuran badan dan berbagai hal lain yang tidak sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi.
Pada akhirnya setelah tertahan dengan persyaratan yang tidak mampu dipenuhi, para ”pemimpi” mengalihkan perhatiannya ke hal lain yang mudah untuk dijangkau namun tetap ”bermartabat” dalam sistem kemasyarakatan. Disinilah persoalan mulai bermunculan. Prinsip ”asal ada pekerjaan” yang dipegang dikarenakan faktor pelarian dari profesi yang tidak sejalan dengan harapan seringkali menjadi masalah di kemudian hari.
Sebagai salah satu profesi yang tidak menetapkan persyaratan yang sulit, diakui atau tidak, guru sering kali menjadi sasaran pelarian dari berbagai usaha kegagalan dalam mewujudkan profesi yang lain. Berbagai faktor yang mempermudah menjadikan profesi ini diibaratkan lahan subur yang diharapkan mampu ditanami berbagai jenis tanaman siap panen, asal ditanami, disiram, dipupuk, pasti jadi. Padahal faktanya tidak semudah itu menghasilkan panen exclusif dengan harga jual yang tinggi.
Urusan mengisi jiwa dan raga anak manusia bukan berarti hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tapi juga memperkaya batin mereka dengan berbagai pengalaman berharga melalui proses pendidikan yang humanis. Dimana anak bisa menjadi siswa, partner kerja, teman, sahabat, begitu pula sebaliknya posisi seorang guru bagi mereka. Pertanyaannya, akankah ”seorang pelarian” bisa mencintai sosok yang menjadi pelampiasannya layaknya mencintai sosok yang benar-benar diinginkannya?
Seorang pencinta sejati akan mencurahkan segenap hati dan perasaannya terhadap sesuatu yang dicintainya. Demikian juga seorang yang dari motivasi intrinsiknya memang bercita-cita ingin menjadi seorang guru dipastikan akan melakukan apapun demi mencerdaskan anak bangsa dan mengisi jiwa dan raganya dengan beragam ilmu yang bermanfaat bahkan memfasilitasi keberagaman bakat dan minat peserta didik dengan berbagai model dan metode yang menyenangkan agar tujuan pembelajaran tercapai sebagaimana yang diharapkan.
Tidak cukup hanya itu, para siswa juga akan dididik untuk memiliki karakter mulia dengan menjadikan diri guru sendiri sebagai role mode yang pantas untuk ditiru dan diikuti dari berbagai sisi dalam wujud yang sesungguhnya, bukan sekedar gimmick untuk menaikkan rating sang guru sehingga terlihat seakan-akan adalah sosok yang peduli dan berdedikasi tinggi terhadap kemajuan pendidikan peserta didiknya, padahal sesungguhnya ia adalah mosnter yang menakutkan bagi peserta didiknya.
Guru yang ”sesungguhnya” memahami bahwa siswa lebih banyak belajar dari apa yang dilihat dan dirasakan daripada yang didapatkannya di dalam ruangan kelas. Falsafal mengatakan: ”buatlah nyaman, maka pasti akan menetap.” demikian pula siswa, ketika ia merasa nyaman dengan gurunya, maka ia akan dengan mudah meneyerap ilmu yang diberikan. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pencapaiannya justru melebihi gurunya sendiri.
Seorang ”The Real Guru” pasti akan menyikapi pencapaian siswanya dengan bijaksan dan bahkan akan merasa puas dan bahagia dikarenakan menganut paham seorang guru bisa dikatakan sukses besar jika siswa sudah melampauinya, sudah bisa meraih impiannya. Guru dan siswa akan saling berkolaborasi dan saling mendukung dalam meraih pencapaian dalam berbagai event yang luar biasa.
Berbeda halnya dengan yang ”terlihat seakan mencintai atau terpaksa mencintai”. Bukan tidak ada peminat barang dengan kualitas KW, bahkan saking banyaknya peminat barang KW hingga barang KW pun ada levelnya di level KW 1, Kw 2, Kw 3 dan seterusnya. Namun bisa dipastikan kualitas dan kenyamanannya akan terasa berbeda jika dibandingkan dengan yang original.
Demikian juga dengan guru yang terlahir dari latar belakang fakultas non kejuruan. Meskipun tidak bisa disamakan jika guru yang menjadi guru karena pelarian tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi siswa. Namun fakta berbicara jika kebanyakan guru yang bukan berasal dari latar belakang fakultas keguruan sering didapati memiliki tanggung jawab yang lebih minim dibandingkan dengan yang sedari awal sudah bercita-cita menjadi seorang guru.
Selain rasa memiliki yang tidak maksimal, tanggung jawab terhadap tugas pun dijalani sebatas sudah melaksanakan apakah bisa dipertanggung jawabkan atau tidak? Itu urusan belakangan. Itupun jika ada. Jika tidak maka hanya dia sendiri, Tuhan dan terkadang atasan saja yang tahu. Masih lumayan jika sang guru mendapatkan hidayah lalu perlahan tapi pasti memperbaiki kinerjanya sehingga menjelma menjadi guru yang bahkan lebih baik daripada guru yang berasal dari alumni fakultas keguruan. Namun bagi yang memiliki tingkat egoisme ”akulah” yang tinggi apa yang akan terjadi? Lalu bagaimana dengan para siswa?
Proses pembelajaran tetap akan berlangsung. Jika hati sang guru senang, maka proses pembelajaran akan menyenangkan, jika tidak, ya bisa jadi anak-anak akan senang karena diberi kebebasan untuk melakukan apapun yang disukai oleh mereka asal tidak ribut dan keluar dari kelas.
Namun disini penulis tidak menjustifikasi pihak manapun. Karena selaku manusia, tidak sedikit juga insan yang sudah dari awal berkeinginan untuk menjadi guru tapi tidak mampu menguasai kelas dan bahan ajar. Sementara guru yang bukan berasal dari latar belakang kejuruan justru sangat menguasai ”medan” dan menjadi kecintaan para siswa. Semuanya kembali kepada diri individu masing-masing.
Di momen perayaan hari guru ini penulis mengajak semua rekan guru untuk merefleksikan kembali bagaimana proses transfer ilmu yang sudah dilakukan kepada para siswa, terlepas dari apapun yang melatar belakangi diri menjadi seorang guru. Apakah sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan yang diharapkan? Seandainya bersedia dan ada keajaiban bertukar tempat dan peran dimana siswa menjadi guru dan kita guru yang menjadi siswa, sudahkah proses pembelajaran yang kita lakukan bisa diterima, diserap dan dimanfaatkan dalam kehidupan nyata para siswa? Jika sudah langkah apa yang harus dilakukan agar ke depannya semakin sempurna? Jika belum upaya apa yang harus dilakukan agar ke depannya menjadi guru yang menyenangkan yang menginspirasi sebagaimana yang diharapkan oleh siswa?
Menyenangkan disini bukan bermakna bisa menjadi bahan permainan siswa, namun proses transfer ilmu yang dilaksanakan dengan menyenangkan sehingga ilmu yang diberikan bisa diserap dengan sebaik mungkin oleh siswa sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dengan nyaman tanpa rasat akut dan jenuh.
Penulis Guru SMKN PP Bireuen