AsaKita.News – Perilaku sosial individu yang kerap kali dipandang sebagai simbol keagamaan sering kali menjadi sorotan publik, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kisah menarik datang dari seorang ustad di sebuah sekolah yang belakangan menjadi buah bibir para guru karena sikapnya yang berubah drastis seiring pergantian kepala sekolah.
Menurut salah seorang guru, selama dua tahun terakhir, ustad tersebut jarang menjalankan tugas piket atau hadir tepat waktu. Namun, setelah kepala sekolah baru menjabat, ia tiba-tiba menjadi sangat aktif, datang lebih awal, menegur guru yang terlambat, dan kerap menunjukkan kemampuannya berbahasa Arab dan Inggris di depan murid-murid. Tidak hanya itu, aktivitasnya di grup WhatsApp sekolah juga meningkat tajam, sering kali memberikan respons penuh semangat terhadap instruksi kepala sekolah.
Para guru pun bertanya-tanya, apakah perilaku tersebut murni tanggung jawab profesional, atau sekadar upaya menarik perhatian kepala sekolah baru. “Sebelumnya, kalau ada acara besar, ustad ini bahkan sering tidak terlihat. Tapi sekarang, ia selalu di depan, bahkan memamerkan kemampuannya di depan murid-murid,” ujar seorang guru.
Kisah Dai Cilik dan Perjalanan Hidupnya
Cerita serupa juga datang dari seorang dai cilik yang pernah menjadi kebanggaan sebuah kampung. Dikenal piawai berdakwah dalam dua bahasa, ia sering menjadi pengisi acara Maulid Nabi. Namun, perjalanan hidupnya tidak sesuai harapan banyak orang. Meski pernah digadang-gadang menjadi ulama besar, kenyataannya ia justru terjerat pergaulan yang kurang baik.
“Dai cilik ini dulunya menjadi kebanggaan. Tapi siapa sangka, di balik penampilan religiusnya, ia punya kenalan yang terlibat dalam aktivitas negatif seperti penyebaran ganja dan konsumsi konten tidak pantas,” ungkap seorang warga.
Refleksi Sosial
Fenomena ini mengundang banyak pertanyaan di masyarakat tentang nilai-nilai keagamaan yang sering kali hanya menjadi simbol atau kemasan sosial. Seorang warga mengatakan, “Kopiah dan baju koko seolah menjadi standar penilaian masyarakat, tapi siapa yang tahu bagaimana sikap dan perilaku sebenarnya di balik itu?”
Kisah-kisah seperti ini memunculkan dilema di kalangan orang tua. Beberapa bahkan mengaku enggan mengirim anak-anak mereka ke pesantren karena khawatir nilai-nilai agama hanya menjadi formalitas tanpa membentuk karakter yang kuat.
Harapan ke Depan
Meski demikian, tidak semua individu yang menampilkan simbol keagamaan memiliki perilaku serupa. Banyak alumni pesantren yang tetap istiqamah dengan nilai-nilai Islam dan menjadi teladan di masyarakat. Pengalaman ini pun mengingatkan pentingnya pendidikan agama yang tidak hanya fokus pada penampilan, tetapi juga membangun akhlak yang luhur.
Pada akhirnya, pengalaman ini menjadi pelajaran bahwa simbol keagamaan tidak selalu mencerminkan karakter seseorang. Diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam menilai seseorang, tidak hanya berdasarkan penampilan, tetapi juga dari sikap dan kontribusinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kp. Blang, 4 Januari 2025
Abdul Hamid #Gureaceh