Oleh. Abdul Hamid, S.Pd., M.Pd
Ada hal menarik tentang cermin: tak peduli seberapa buruk wajah kita, kita tetap saja bercermin. Saya pun begitu. Meski sadar wajah saya jauh dari kata tampan, cermin tetap jadi teman setia. Ada naluri narsisme kecil di dalam diri saya yang mendorong untuk terus berkaca, sekadar untuk mengagumi diri sendiri.
Namun, anehnya, kekaguman itu sering kali tidak ada. Meski begitu, saya tetap bercermin tanpa merasa kecewa. Ini membuat saya berpikir: narsisme memang sesuatu yang sulit dihindari. Alih-alih menganggapnya buruk, saya memilih untuk memahami manfaat dan bahayanya, lalu berusaha menekan dampak negatifnya sambil mengembangkan sisi positifnya.
Sebagai latihan, saya mulai dengan anak-anak saya. Suatu hari, saya bertanya kepada si kecil, “Di sekolah, lebih banyak yang suka atau yang tidak suka sama kamu?” Tentu, saya bertanya dengan bahasa yang sederhana.
Dia berpikir keras sebelum akhirnya menjawab bahwa lebih banyak yang suka. Lalu saya tanyakan, “Kenapa mereka suka?”
Jawabannya? Tidak ada. Anak saya diam saja. Situasinya hampir buntu sampai kakaknya yang kelas dua SMP datang dan ikut campur.
“Tidak ada orang yang bisa menilai dirinya sendiri!” katanya sambil menatap saya, seolah melawan otoritas seorang ayah.
Saya tertawa kecil, tapi tidak langsung setuju. Menurut saya, pernyataan itu keliru. Penilaian diri sebenarnya sangat mungkin dan bahkan mudah dilakukan—jauh lebih mudah daripada menilai orang lain. Kita hidup dengan diri kita sendiri setiap saat, tentu kita tahu apa kelemahan dan kelebihan kita.
Contohnya, saya tahu bahwa saya sangat malas. Kalau terlihat rajin bekerja, itu hanya karena terpaksa. Kalau tidak bekerja, saya bisa dipecat. Semua kerja keras yang saya tunjukkan sebenarnya adalah hasil tekanan keadaan.
Dan soal kelemahan lain? Saya masih sering melirik wanita cantik. Bahkan ketika sedang bersama istri, mata saya kadang teralihkan ke arah perempuan yang lewat. Tentu saja, ini sering membuat istri saya marah. Tapi saya punya cara bertahan:
“Maaf ya, aku salah. Sebagai gantinya, nanti kalau kamu mau, boleh kok lirik-lirik bapak-bapak ganteng,” kata saya, mencoba bercanda. Apakah istri saya pernah melakukannya? Saya tidak tahu.
Meski begitu, saya yakin kita semua bisa mengenali kelemahan diri kita. Kalau kelemahan bisa ditemukan dengan mudah, begitu juga kelebihan. Sayangnya, budaya di sekitar kita sering kali melarang kita untuk terbuka soal kelebihan diri sendiri.
Namun, saya yakin mengakui kelebihan bukanlah dosa. Kalau kelebihan itu membawa kebaikan, apa salahnya? Dengan menemukan kelebihan saya, setidaknya saya bisa memartabatkan diri sendiri dan menjadi pribadi yang bermanfaat, bukan benalu bagi masyarakat.
Contohnya, saya tahu bahwa saya pintar mengajar, menulis, berbicara, berpidato dan menyenangkan hati orang lain. Ketika saya menyadari semua itu, saya merasa lebih percaya diri dan mampu menjalani hidup dengan lebih baik.
Kembali ke anak saya, ketika dia kebingungan menyebutkan kelebihannya, saya hanya bisa tersenyum. Menurut saya, dia bukan tidak tahu, melainkan ragu-ragu. Akhirnya, saya mengancam halus, “Kalau kamu tidak bisa sebut kelebihanmu, anggaran mainan kamu bulan depan dipotong setengah.”
Tiba-tiba, otaknya bekerja dengan sangat cepat. Ia mulai menyebutkan semua alasan kenapa ia disukai teman-temannya. Salah satu yang mengejutkan, ia akhirnya mengaku dengan percaya diri, “Karena aku ganteng!”
Itu pertama kalinya dia mengatakan hal itu secara terbuka, padahal wajah itu sudah melekat selama 11 tahun.
Kesimpulan saya? Banyak kelebihan yang mati hanya karena jarang kita sapa. Kadang, semua yang kita butuhkan hanyalah dorongan kecil untuk mengenali dan mengakui kelebihan diri sendiri. Dan dari situlah, semuanya bisa dimulai.
Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Penulis adalah kacabdin Bireuen dan penasehat IGI Pidie