AsaKita.Nees, Pidie Jaya – Banjir bandang kembali melanda wilayah Pidie Jaya, membawa dampak signifikan bagi ribuan warga. Hujan deras selama beberapa hari terakhir menyebabkan luapan sungai dan longsor di kawasan perbukitan Glee. Fenomena ini hampir menjadi rutinitas tahunan yang merugikan masyarakat, namun ironisnya, pelaku utama kerusakan lingkungan masih bebas beroperasi.
Sejumlah warga dan aktivis lingkungan menyebut bahwa banjir ini tidak terlepas dari aktivitas perambahan hutan secara masif yang dilakukan oleh oknum pengusaha. Mereka menebang hutan di kawasan Glee untuk membuka lahan perkebunan sawit. Hutan yang seharusnya menjadi pelindung alami dari erosi dan penahan air kini berubah menjadi perkebunan, menyebabkan kerusakan ekosistem yang parah.
Menurut salah seorang warga, banjir ini hanya memberikan “manfaat” bagi segelintir pihak, yaitu pengusaha yang terus mendapatkan keuntungan besar dari sawit. “Kami hanya menerima musibah setiap tahun. Mereka (pengusaha) menikmati hasil sawitnya, tapi kami kehilangan rumah dan ladang,” ujar warga Desa Meureudu yang terdampak banjir.
Seruan untuk Tindakan Konkret
Para aktivis dan masyarakat mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan nyata, termasuk menghentikan aktivitas perambahan hutan, merehabilitasi kawasan hutan yang rusak, dan menegakkan hukum terhadap pelaku penebangan liar. Selain itu, mereka meminta adanya moratorium pembukaan lahan sawit di wilayah rawan bencana.
Banjir Pidie Jaya tahun ini tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga sebuah pengingat akan urgensi kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Jika tidak, masyarakat Pidie Jaya akan terus menjadi korban dari ketidakadilan ekologis ini.