Oleh. Abdul Hamid
Sore itu, angin semilir menyapu wajahku ketika aku melangkah masuk ke sebuah kafe yang biasanya sepi. Duduk di sudut kafe, aku memilih tempat yang tenang untuk melarikan diri dari keruwetan hidup. Aku menatap secangkir kopi yang mulai dingin di hadapanku, tenggelam dalam lamunan tentang dia. Entah kenapa, hubungan kami akhir-akhir ini terasa semakin rumit. Ada jarak yang tak terjelaskan, dan aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sambil meneguk sisa kopi, tiba-tiba pintu kafe terbuka. Di sana, berdiri dia—seseorang yang dulu sering duduk bersamaku di sudut yang sama, menikmati percakapan tanpa batasan. Hari ini, dia tak sendiri. Bersamanya ada seorang pria yang tak kukenal. Dadaku seketika terasa sesak. Apa yang sedang terjadi? Kenapa perasaan curiga tiba-tiba meluap di dadaku?
Mereka berjalan menuju meja di dekatku, tak menyadari kehadiranku. Ketika aku hendak berdiri dan meninggalkan tempat itu, entah kenapa kakiku seakan berat melangkah. Aku tetap di tempatku, menonton mereka dari kejauhan. Suasana kafe yang biasa damai, kini terasa berubah menjadi medan yang penuh dengan tanda tanya di kepalaku.
Percakapan mereka tak terdengar jelas, namun senyum dan tawa mereka membuat pikiranku semakin kacau. Lalu, tanpa pikir panjang, aku berdiri dan mendekati meja mereka. Rasanya aku tak bisa menahan diri lagi. Tiba-tiba saja, tanpa permisi, aku langsung bertanya, “Mengapa kau tanyakan itu pada dia?”
Dia terkejut mendengar suaraku. Wajahnya berubah pucat seketika, dan pria di hadapannya tampak bingung. Suasana menjadi tegang, tatapan mereka saling bertukar, seakan ada sesuatu yang harus dijelaskan namun mereka tak tahu harus mulai dari mana.
“Apa maksudmu?” Dia akhirnya membuka suara, suaranya bergetar, mungkin karena terkejut. Tapi aku sudah terlalu larut dalam pikiranku sendiri untuk memerhatikan hal itu.
“Setelah sekian minggu kita tidak berjumpa, kenapa tiba-tiba kau tanyakan hal itu pada dia?” Aku kembali menuntut jawaban, meski aku tahu mungkin aku sendiri tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya ingin kutanyakan.
“Persoalan ini bukan urusanmu, mengapa kau harus ikut campur?” Dia menjawab dengan nada defensif, tatapannya berubah tajam. Saat itulah aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Sebuah perasaan curiga yang selama ini kuabaikan mulai menyusup ke dalam pikiranku.
“Kamu selalu ingin tahu tentang aku dan dia. Jangan-jangan kamu juga ada perhatian kepadanya,” kataku, mencoba menahan ledakan emosi yang semakin tak bisa kukendalikan. Pria yang duduk di sebelahnya tampak canggung, tapi dia tidak berbicara apa-apa. Diamnya justru membuatku semakin curiga.
Wajahnya mengerut, tampak kesal. “Kamu salah paham,” ucapnya singkat, tapi tak ada penjelasan lebih lanjut.
Aku duduk di kursi yang ada di seberang mereka, mencoba menenangkan diri. Namun, keheningan yang terjadi setelah itu semakin membuatku gelisah. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Apakah mungkin benar bahwa dia sedang menyelidiki hubungan kami? Mengapa dia selalu ikut campur dalam urusanku dan dia?
Seiring berjalannya waktu, keheningan semakin terasa berat. Tak ada lagi percakapan di antara kami. Kafe yang tadinya terasa nyaman, kini berubah menjadi ruang yang penuh dengan kebisuan yang menyakitkan. Di mataku, semuanya tampak tidak sama lagi.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, dia akhirnya berdiri. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia melangkah keluar dari kafe, meninggalkan pria itu dan aku dalam kebingungan yang berbeda. Aku tak mengejarnya, tak pula mencoba memanggil namanya. Ada jarak yang kini terasa tak mungkin kuperbaiki lagi. Mungkin, ada sesuatu yang memang seharusnya tak pernah kutanyakan sejak awal. Atau mungkin, ada perasaan yang selama ini kubiarkan terpendam terlalu lama.
Aku duduk diam, menatap kosong ke arah pintu kafe yang kini tertutup. Apa pun yang terjadi, aku tahu, sore itu telah mengubah segalanya. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa hilang di antara rasa curiga yang tak terjawab.