Oleh: Abdul Hamid
Berdebat dengan orang yang menolak logika sering kali terasa seperti menabur benih di tanah yang tandus. Bukan karena benih itu tidak berkualitas, tetapi karena tanahnya memang tidak siap menumbuhkan apa pun. Demikianlah rasanya berdiskusi dengan seseorang yang tidak memegang prinsip nalar: argumen sekuat apa pun hanya akan memantul kembali, tak berjejak, tak berdampak.
Logika adalah fondasi paling dasar dalam diskusi yang sehat. Tanpanya, percakapan bukan lagi ajang tukar gagasan, melainkan ladang pertempuran ego. Seperti mencoba menyalakan lampu di ruangan yang kabel listriknya telah putus—masalahnya bukan pada lampunya, tetapi pada salurannya yang tak lagi berfungsi.
Lebih dari sekadar kecerdasan, logika menuntut kerendahan hati: kesediaan untuk mendengar, menimbang, dan mengakui bahwa kita bisa saja keliru. Namun, ketika seseorang bersikukuh pada pandangan tanpa dasar, menolak bukti, bahkan memutarbalikkan fakta, maka diskusi kehilangan maknanya. Ia bukan lagi tentang mencari kebenaran, tetapi sekadar mempertahankan posisi.
Kita pun sering terjebak dalam diskusi yang seolah-olah produktif, padahal hanya berputar-putar di tempat yang sama. Energi terkuras, waktu terbuang, dan ujungnya bukan pemahaman, tapi kejengkelan. Dalam situasi seperti ini, kita perlu mengingat: tidak semua perdebatan harus dimenangkan, dan tidak semua orang layak menjadi lawan diskusi.
Ada saatnya kita perlu berhenti. Bukan karena takut kalah, tetapi karena menyadari bahwa lawan bicara kita tidak sedang mencari pemahaman, melainkan sekadar ingin menang. Dan demi ambisi itu, mereka rela menanggalkan logika dan kejujuran di pinggir jalan.
Kita hidup di zaman di mana kebenaran sering kali dikaburkan oleh keberisikan opini. Di media sosial, ruang-ruang komentar, bahkan dalam forum resmi sekalipun, tidak sedikit yang lebih tertarik pada siapa yang paling lantang, bukan siapa yang paling masuk akal.
Maka, memilih diam kadang adalah bentuk bijak dari menjaga martabat berpikir. Diam bukan berarti kalah, tetapi bentuk pengakuan bahwa tidak semua medan layak dijadikan tempat bertarung.
Pada akhirnya, logika hanya bisa hidup dalam ruang yang menghargainya. Dan diskusi yang sehat hanya bisa tumbuh dari niat tulus untuk memahami, bukan sekadar membenarkan diri sendiri.
Tentang Penulis:
Abdul Hamid, S.Pd., M.Pd., adalah pemerhati pendidikan dan kebudayaan berpikir yang konsisten mengangkat pentingnya nalar dalam diskursus publik. Ia percaya bahwa logika dan empati adalah dua pilar utama dalam membangun masyarakat yang sehat secara intelektual.