“Tidak akan masuk surga siapa saja yang tetangganya tidak aman dari gangguannya,” sabda Rasulullah ﷺ, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim”
ASAKITA.NEWS | TRIENGGADENG .Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman di dunia. Tapi bagi sebagian orang, rumah justru menjadi saksi bisu dari luka yang tak pernah selesai—bukan karena atapnya bocor atau temboknya retak, melainkan karena tetangga yang tak lagi membawa kedamaian.
Ada sebuah pepatah Arab yang penuh makna: “Al-jār qabla ad-dār” — Pilihlah tetangga sebelum memilih rumah. Namun, dalam realitas hari ini, pepatah itu kerap diabaikan. Banyak yang tergiur lokasi strategis dan harga murah, namun lupa bertanya: siapakah yang akan tinggal berdampingan denganku?
Di balik pagar dan dinding rumah, tersimpan kisah tentang iri dan dengki yang tumbuh subur. Ketika famili yang harusnya menjadi tempat bersandar justru menjadi sumber fitnah, dan tetangga yang semestinya menjadi penjaga justru berubah menjadi pengintai. Ada yang terusik karena suara tawa bahagia di rumah sebelah, lalu diam-diam menebar racun kata, menyusup ke ruang-ruang rumah tangga hingga retak tak bersisa.
“Tidak akan masuk surga siapa saja yang tetangganya tidak aman dari gangguannya,” sabda Rasulullah ﷺ, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Hadis ini bukan sekadar peringatan, melainkan cermin yang memantulkan kenyataan kita hari ini.
Dalam lingkungan seperti ini, orang-orang baik bisa goyah. Kesalehan diuji setiap hari, karena tidak semua ujian datang dari musuh. Sebagian datang dari orang yang dekat, bahkan terlalu dekat hingga bisa mendengar detak resah dari balik tembok.
Tetangga yang buruk bukan hanya mengganggu ketenangan, mereka bisa merusak tatanan rumah tangga. Mereka menjadikan hidup tetangganya sebagai kompetisi diam-diam—bukan dalam kebaikan, tapi dalam upaya menjatuhkan dan menyakiti. Membuat kehidupan bertetangga tak lagi tenang, tapi penuh kecurigaan.
Bagi mereka yang menjadi korban, menarik diri seringkali menjadi pilihan. Bukan karena sombong, tapi karena mempertahankan kedamaian lebih utama daripada membalas keburukan. Mereka memilih diam, walau hatinya terluka.
Ini bukan sekadar kisah satu rumah atau satu orang. Ini potret buram dari masyarakat yang mulai lupa cara bertetangga. Di mana kedekatan fisik tak lagi menjamin kedekatan hati. Di mana empati tergantikan oleh iri, dan doa tergantikan oleh ghibah.
Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang membuat tetangga merasa tak aman. Karena ukuran keimanan, salah satunya adalah sejauh mana orang lain merasa damai dengan kehadiran kita. Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita berusaha menjadi manusia.
Dan bagi siapa pun yang tengah diuji dengan tetangga yang menyakitkan, ingatlah: Allah Maha Adil. Dan setiap luka yang disabarkan, kelak akan menjadi cahaya yang tak pernah padam.


