Oleh: Abdul Hamid, S.Pd., M.Pd.
Setiap kali kalender Hijriah bergulir menuju 1 Muharram, umat Islam di seluruh dunia kembali diingatkan akan pentingnya makna hijrah—sebuah peristiwa agung yang menandai tonggak sejarah Islam. Tahun Baru Islam bukan sekadar penanggalan baru dalam sistem kalender, melainkan momentum spiritual yang mengajak setiap muslim untuk berhijrah: dari gelap menuju terang, dari lalai menuju sadar, dari stagnan menuju perubahan yang lebih baik.
Sebagai seorang guru, momen Tahun Baru Islam bukan hanya menjadi waktu refleksi pribadi, tetapi juga ajakan terbuka kepada murid, rekan sejawat, dan komunitas sekolah untuk melakukan muhasabah bersama. Di tengah kesibukan pembelajaran, target kurikulum, dan rutinitas administratif, 1 Muharram datang sebagai pengingat untuk kembali melihat ke dalam—menilai sejauh mana peran kita dalam mendidik, sejauh mana kita menanamkan nilai dan teladan dalam setiap tindakan.
Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, melainkan transformasi besar dalam cara berpikir, cara hidup, dan cara membangun peradaban. Nabi tidak hanya menyelamatkan diri dari ancaman Quraisy, tetapi memulai lembaran baru masyarakat yang berlandaskan iman, keadilan, dan kasih sayang. Maka bagi seorang guru, momen hijrah adalah panggilan untuk menilai: apakah proses pendidikan yang kita jalankan selama ini sudah menjadi jalan perubahan seperti Madinah itu?
Di ruang kelas, hijrah bisa diwujudkan dalam cara memperlakukan murid bukan sekadar sebagai obyek pengajaran, tapi sebagai manusia yang sedang tumbuh dengan segala potensi dan kelemahannya. Hijrah berarti berpindah dari pola pengajaran yang monoton menuju pembelajaran yang menginspirasi. Berhijrah dari sikap pasif terhadap lingkungan sekolah menuju keterlibatan aktif dalam memajukan kualitas pendidikan. Bahkan, berhijrah juga berarti meningkatkan kualitas spiritual pribadi agar semakin kuat menjadi teladan bagi anak-anak didik.
Muhasabah diri menjadi inti dari setiap peringatan Tahun Baru Islam. Dalam muhasabah, kita bertanya: Sudahkah ilmu yang kita ajarkan berbuah akhlak? Sudahkah kita mendidik dengan hati, bukan hanya logika? Sudahkah kita menjadi bagian dari solusi bagi anak-anak yang sulit memahami pelajaran, anak-anak yang terkadang datang ke sekolah bukan hanya membawa buku, tapi juga beban hidup?
Tahun Baru Islam menjadi kesempatan emas untuk memperbarui niat. Niat mengajar bukan sekadar karena gaji atau kewajiban, tetapi sebagai ibadah. Niat mendidik bukan karena keinginan mendapat pujian, tetapi karena ingin menunaikan amanah membangun generasi berakhlak. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa setiap amal tergantung pada niatnya. Maka, awal tahun adalah momen yang paling tepat untuk meluruskan niat.
Kita juga perlu mengajarkan kepada murid bahwa kalender Islam adalah bagian dari identitas umat. Di tengah dominasi budaya barat dan komersialisasi tahun baru masehi, penting bagi generasi muda untuk memahami dan menghargai tahun baru Islam. Kita bisa menjadikan momentum ini sebagai proyek pembelajaran: mengenalkan sejarah hijrah, mendiskusikan nilai-nilai perubahan, dan mengaitkannya dengan tantangan kehidupan sehari-hari.
Sebagai guru, kita memiliki peran ganda: mendidik dan memberi makna. Tahun Baru Islam bukan hanya tentang mengganti kalender di dinding ruang guru, tetapi juga mengganti cara pandang. Dari sekadar rutinitas menjadi misi. Dari sekadar pekerjaan menjadi peran suci.
Mari kita mulai tahun baru Hijriah ini dengan hati yang lebih bersih, niat yang lebih lurus, dan langkah yang lebih mantap. Mari kita hijrah dari zona nyaman menuju medan perjuangan pendidikan yang lebih berkualitas dan bermakna. Sebab perubahan besar dalam sejarah Islam pun dimulai dari hijrah seorang guru—Nabi Muhammad SAW—yang mendidik umat dengan cinta, ilmu, dan keteladanan.
Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Semoga kita menjadi bagian dari hijrah yang membawa peradaban.
*) Penulis adalah guru dan pegiat pendidikan di Aceh.