“Revisi ini bukan hanya soal teks hukum, tetapi soal marwah, hak, dan masa depan Aceh,”
Asakita.news | Banda Aceh– Nasruddin yang akrab disapa Nyak Dhien Gajah mantan Tapol dan Napol Aceh kembali angkat bicara soal masa depan Aceh. Dengan suara tenang namun tegas, ia meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) segera dilakukan.
Menurutnya, banyak pasal dalam UUPA yang sudah tidak relevan dan belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan rakyat Aceh. Ia menilai, tanpa revisi yang jelas, kewenangan Aceh bisa terus dipersempit, padahal undang-undang ini menjadi simbol perjuangan panjang masyarakat Aceh.
“Revisi ini bukan hanya soal teks hukum, tetapi soal marwah, hak, dan masa depan Aceh,” ujar Nyak Dhien Gajah.
Dalam catatan yang ia sampaikan, ada sejumlah poin penting yang menjadi sorotannya. Ia memulai dengan definisi qanun pada Pasal 1 yang perlu disesuaikan, khususnya angka 21 dan 22, agar jelas membedakan antara Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota. Lalu ia menyinggung Pasal 7 tentang kewenangan pemerintah pusat yang menurutnya harus ditegaskan ruang lingkupnya, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan Aceh.
Ia melanjutkan pada Pasal 11 terkait Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) , yang menurutnya cukup diatur melalui Qanun Aceh tanpa harus ditentukan langsung dalam undang-undang. “Jangan sampai ruang legislasi Aceh dibatasi dengan aturan turunan dari pusat,” tegasnya.
Sektor strategis juga menjadi sorotan. Pada Pasal 160 tentang pengelolaan migas, Nyak Dhien Gajah menekankan pentingnya penegasan hak Aceh. Begitu pula dengan Pasal 165 mengenai izin penangkapan ikan, yang ia pandang harus memperkuat peran pemerintah lokal.
Sorotan besar lainnya adalah Dana Otonomi Khusus. Ia menegaskan agar Pasal 183 memastikan persentase 2,5% dari DAU nasional diberikan kepada Aceh tanpa batas waktu. “Dana ini bukan hadiah, tapi bagian dari perjanjian politik,” katanya.
Selain itu, Nyak Dhien Gajah juga menyebut pentingnya zakat sebagai pengurang pajak (Pasal 192), keberadaan auditor independen (Pasal 194), serta evaluasi Qanun APBA (Pasal 235). Ia juga menggarisbawahi peran Qanun dan NSPK (Pasal 270) serta menambahkan usulan Pasal 251A tentang pembagian pendapatan sebagai pasal baru.
Di penghujung pernyataannya, ia mengingatkan bahwa revisi UUPA tidak bisa dilakukan secara sepihak. Ada dua landasan hukum yang menurutnya harus dijunjung tinggi: Pasal 269 ayat (3) UUPA yang mewajibkan pemerintah pusat berkonsultasi dengan DPRA sebelum melakukan perubahan, serta Perpres 75/2008 yang mengatur tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan atas rencana pembentukan UU yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.
“Kalau konsultasi diabaikan, itu artinya pemerintah pusat melanggar ruh perjanjian yang sudah kita sepakati. Revisi UUPA harus dilakukan dengan semangat menghargai Aceh,” tutup Nyak Dhien Gajah, seraya menyinggung bahwa penguatan regulasi ini juga penting untuk mendorong sektor baru seperti tour sejarah Aceh yang bisa menjadi kekuatan ekonomi ke depan.