Haji Uma, Sang Senator Ulung: Suara Rakyat Aceh yang Tak Pernah Padam
BANDA ACEH – Dari ujung barat Sumatra hingga pelosok Papua, para senator Republik Indonesia membawa mandat rakyat untuk menyuarakan aspirasi daerah. Namun dari sekian nama yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), sosok Haji Sudirman, yang lebih dikenal sebagai Haji Uma, menempati tempat istimewa di hati masyarakat Aceh.
Menjabat selama tiga periode berturut-turut, Haji Uma telah menjelma menjadi figur yang tidak hanya disegani, tetapi juga dicintai. Dalam Pemilu terakhir, ia mencatat sejarah dengan meraih suara satu juta enam puluh ribu suara dari sekitar 3,6 juta pemilih Aceh. Perolehan ini bukan hanya mencerminkan kekuatan elektoral semata, tetapi juga menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap kiprahnya.
Kepercayaan itu pun dibayar lunas dengan aksi nyata. Berbeda dari politisi kebanyakan, Haji Uma dikenal tak pernah menjaga jarak dengan rakyat. Ia kerap turun langsung ke lapangan, membantu masyarakat Aceh yang sedang menghadapi kesulitan—baik yang berada di kampung halaman maupun di perantauan. Dari mendampingi pasien asal Aceh di rumah sakit rujukan Jakarta, mengadvokasi pekerja migran Aceh yang terjebak masalah hukum di luar negeri, hingga menanggapi aduan-aduan sederhana dari masyarakat melalui media sosial, semuanya dilakukan dengan cepat dan tanpa banyak protokol.
“Amanah ini bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan dengan kerja dan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Haji Uma dalam sebuah wawancara media lokal.
Apresiasi terhadap sosok Haji Uma datang dari berbagai kalangan, termasuk generasi muda. *Saiful Mulki*, pemuda Aceh yang aktif dalam isu sosial dan kepemudaan, menyampaikan pandangannya, “Haji Uma adalah sosok langka di tengah dunia politik hari ini. Beliau membuktikan bahwa kekuasaan bisa dijalankan dengan cara-cara sederhana, tapi berdampak besar. Kami anak muda Aceh sangat menghargai keteladanan dan integritasnya.”
Sementara itu, seorang tokoh pemuda dari Bireuen, M. Iqbal, menyebutnya sebagai “senator ulung” karena kedekatannya yang tulus dengan masyarakat dan konsistensinya dalam memperjuangkan kepentingan publik.
Selain kerja sosial, Haji Uma juga aktif dalam memperjuangkan kebijakan strategis di tingkat nasional. Ia dikenal sebagai suara lantang di Senayan dalam memperjuangkan keistimewaan Aceh, pendidikan dayah, keadilan fiskal untuk daerah, serta perlindungan terhadap tenaga kerja asal Aceh. Dalam sebuah sidang paripurna DPD RI, ia dengan tegas menyatakan, “Aceh bukan meminta keistimewaan, tetapi menagih janji sejarah dan kesepakatan perdamaian. Tugas kami di Senayan adalah menjaga martabat dan hak daerah.”
Kehadirannya sebagai senator bukan hanya soal representasi politik, tetapi juga tentang nilai. Di tengah derasnya arus politik nasional yang seringkali memisahkan pemimpin dari rakyat, Haji Uma hadir sebagai sosok yang menjaga keakraban, menjunjung kearifan, dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan tindakan nyata. Ia bukan sekadar wakil daerah—melainkan cermin dari wajah Aceh yang ulung, berani, dan bersahaja.***