Gunung Mas, Asakita.news – Good Forest Indonesia (GFI) resmi menggandeng Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC-USK) sebagai konsultan utama dalam program pemberdayaan komoditas nilam di Kalimantan Tengah. Kolaborasi ini menjadi langkah strategis GFI dalam mendorong reforestasi berbasis agroforestri di wilayah bekas tambang dan kawasan mineral lainnya.
Direktur GFI, Fadhillah Hanum yang akrab disapa Ririen, menyampaikan hal ini pada Rabu, 23 Juli 2025, di sela kegiatan pelatihan di Desa Sumur Mas, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas. Sejak 20 Juli, GFI melaksanakan Training of Trainer (ToT) bagi puluhan fasilitator lapangan dengan menghadirkan langsung Direktur ARC-USK, Syaifullah Muhammad, ke lokasi kegiatan.
“Program kami menyasar wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan hutan akibat aktivitas penambangan. Kami ingin mendorong masyarakat melakukan penanaman pohon dengan pendekatan agroforestri. Tujuannya, selain memulihkan ekosistem, masyarakat juga memperoleh pendapatan,” ungkap Ririen.
Beberapa komoditas yang dibina GFI meliputi sengon, jengkol, pete, kakao, dan nilam. Khusus nilam, GFI menjadikannya sebagai alternatif penghasilan jangka pendek bagi petani yang tergabung dalam program reforestasi.
“Nilam punya potensi ekonomi yang tinggi. Dalam dua tahun terakhir kami sudah mulai mengembangkan budidaya nilam berikut fasilitas destilasinya. Ke depan, kami ingin memperluas program ini melalui pelatihan, pendampingan teknis, distribusi bibit, serta akses pasar yang berkelanjutan,” tambahnya.
Menurut Ririen, alasan menggandeng ARC-USK adalah karena lembaga tersebut memiliki rekam jejak panjang dalam pengembangan komoditas atsiri, khususnya nilam, di Provinsi Aceh.
“ARC punya pengalaman lebih dari 12 tahun dalam riset, teknologi penyulingan, dan pengembangan komunitas petani. Kolaborasi ini akan memperkuat fondasi program kami, sekaligus mengambil pelajaran dari praktik baik yang telah sukses dilakukan di Aceh,” jelasnya.
Ririen menegaskan, dalam jangka pendek GFI menargetkan perluasan penanaman nilam di lahan-lahan petani binaan sebagai sumber pendapatan alternatif. Sementara dalam jangka panjang, GFI berharap terciptanya rantai nilai nilam yang berkelanjutan berbasis masyarakat, mulai dari hulu hingga hilir.
Sementara itu, Direktur ARC-USK, Syaifullah Muhammad, yang hadir langsung di desa pedalaman Kalimantan Tengah, menyatakan dukungan penuh atas kolaborasi ini. Menurutnya, pengalaman ARC di Aceh akan menjadi kontribusi nyata untuk pengembangan nilam di Kalimantan Tengah.
“Kami akan berbagi hasil riset dan pendekatan community development yang selama ini kami lakukan di Aceh. Kami percaya pengalaman itu bisa menjadi landasan kuat untuk membangun industri nilam berbasis masyarakat di sini,” ujar Syaifullah.
Kolaborasi antara GFI dan ARC-USK ini diharapkan menjadi model inspiratif bagi daerah lain dalam mengembangkan komoditas unggulan yang ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.
Tim redaksi asakita.news