• Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
Minggu, Agustus 3, 2025
  • Login
AsaKita News
  • Beranda
  • Daerah
  • Nasional
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Pariwara
  • Siswa Menulis
  • Suara Guru
  • Suara Kita
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Nasional
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Pariwara
  • Siswa Menulis
  • Suara Guru
  • Suara Kita
No Result
View All Result
AsaKita News
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Nasional
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Pariwara
  • Siswa Menulis
  • Suara Guru
  • Suara Kita
Home Aceh

Budaya Patriarki yang Terkikis: Ketika ASN Perempuan Makin Menonjol

Redaksi by Redaksi
Agustus 2, 2025 | 18 : 54
in Aceh, Sastra guru dan siswa, Suara Guru
0
Budaya Patriarki yang Terkikis: Ketika ASN Perempuan Makin Menonjol
1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Marlina, S.Pd

Saya pernah membatin, dalam sepi dan diam, sebuah tanya yang tak kunjung reda: “Dari mana ini berawal?” Tanya yang lahir dari pengamatan atas satu gejala sosial yang kian mencuat di lingkungan birokrasi kita—fenomena banyaknya perempuan, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menceraikan suaminya.

Fenomena ini mungkin masih tabu dibicarakan secara terbuka, namun diam-diam menjadi pembicaraan lirih di ruang-ruang publik. Mengapa perempuan, yang dulu dikenal sebagai sosok yang rela berkorban demi keluarga, kini makin berani mengambil keputusan besar, bahkan menyudahi pernikahan? Apakah ini karena mereka menjadi lebih kuat, lebih mandiri? Ataukah karena budaya lama yang mengekang perempuan perlahan mulai runtuh?

Saya cenderung meyakini bahwa jawabannya adalah kombinasi dari keduanya. Dan salah satu akar dari semua ini adalah budaya patriarki—budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kendali dan perempuan sebagai subordinat. Budaya yang begitu kuat dalam masyarakat kita, sehingga perempuan sering kali harus menerima tanpa banyak bicara.

Namun kini, realitasnya berubah.

Dominasi Perempuan dalam Dunia Pendidikan

Lihat saja di sekolah-sekolah kita. Siapa yang paling banyak berdiri di depan kelas, mendidik generasi masa depan? Jawabannya jelas: perempuan. Terutama di jenjang sekolah dasar, guru laki-laki sudah menjadi “makhluk langka”. Satu sekolah bisa saja tidak memiliki satu pun guru laki-laki tetap.

Apakah ini sekadar persoalan formasi dan penempatan? Tidak sepenuhnya. Ini lebih dalam dari sekadar angka statistik. Ini adalah cerminan dari sebuah pergeseran sosial. Perempuan tidak lagi hanya “boleh” menjadi guru. Mereka kini mendominasi ruang-ruang pendidikan. Bahkan, banyak yang menjadi kepala sekolah, pengawas, hingga instruktur pelatihan.

Jika dulu perempuan dianggap hanya pantas menjadi “pendamping” guru laki-laki, kini mereka adalah motor penggerak pendidikan itu sendiri.

Bagaimana dengan Lingkungan Pemerintahan?

Fenomena serupa juga tampak di kantor-kantor pemerintahan. Dari kantor bupati hingga kantor gubernur, dari kantor camat hingga dinas-dinas kabupaten dan kota—jumlah ASN perempuan kian tahun kian meningkat. Sementara itu, ASN laki-laki terlihat cenderung stagnan, bahkan menurun.

Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Apakah minat laki-laki terhadap birokrasi mulai melemah? Ataukah perempuan memang lebih tertarik karena melihat peluang yang lebih menjanjikan di bidang ini? Apa pun alasannya, data dan kenyataan di lapangan berbicara: keberadaan ASN perempuan kian mendominasi.

Di satu sisi, ini tentu kabar baik. Artinya, kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke dunia birokrasi semakin terbuka lebar. Namun di sisi lain, ini juga menjadi alarm bagi kita semua. Jangan-jangan laki-laki mulai kehilangan etos kerja dan semangat kompetisi.

ASN Laki-Laki di Warung Kopi

Siapa yang belum pernah melihat pemandangan klasik: ASN laki-laki nongkrong di warung kopi pada jam kerja? Entah untuk rapat tidak resmi, diskusi ringan, atau sekadar rehat yang terlalu panjang. Fenomena ini bahkan telah menjadi semacam “budaya tersendiri” di sekitar kantor-kantor pemerintahan.

Tentu, kita tidak bisa serta-merta menggeneralisasi. Tidak semua ASN laki-laki demikian. Banyak yang bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, dan bertanggung jawab. Namun, bila pemandangan di warung kopi lebih banyak diisi oleh ASN laki-laki daripada perempuan, maka pertanyaan kritis perlu diajukan: apakah ini cerminan dari rendahnya kedisiplinan? Ataukah warung kopi telah berubah menjadi “kantor kedua”?

Jika kita mau jujur, efektivitas kerja kerap kali lebih terlihat pada ASN perempuan. Mereka lebih rajin hadir, disiplin dalam mengikuti rapat, aktif dalam kegiatan-kegiatan kantor, bahkan lebih tekun mengurus administrasi yang rumit. Di sisi lain, ASN laki-laki kadang lebih memilih kerja-kerja lapangan yang fleksibel, atau bahkan hanya “berkeliaran” tanpa target yang jelas.

Ketika Perempuan Berani Berdiri Sendiri

Perubahan ini bukan hanya soal kuantitas dan kehadiran di kantor. Ini tentang perubahan paradigma dan pola pikir perempuan dalam melihat diri mereka sendiri. Dulu, banyak perempuan bertahan dalam pernikahan meski terluka. Mereka takut dicap gagal, takut tidak bisa menghidupi diri dan anak-anak, takut menghadapi stigma sosial.

Kini, dengan menjadi ASN dan memiliki penghasilan tetap, banyak perempuan merasa lebih percaya diri. Mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya pada suami. Ketika rumah tangga sudah tidak harmonis, mereka berani mengambil keputusan yang dulu terasa mustahil: bercerai.

Apakah ini salah? Tidak. Ini justru bentuk keberanian untuk memperjuangkan kebahagiaan dan harga diri. Ketika perempuan sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri, maka relasi dalam rumah tangga pun harus dibangun di atas dasar kesetaraan, bukan ketakutan.

Inilah wajah baru perempuan ASN. Mandiri, tegas, berani, dan profesional.

Tantangan Baru: Menata Ulang Peran

Namun di balik semua fenomena ini, ada tantangan besar yang menanti. Ketika dominasi ASN perempuan semakin kuat, maka tantangan ke depan bukan lagi soal kesetaraan. Tapi soal bagaimana menata ulang peran laki-laki dalam dunia kerja dan keluarga.

Sudah saatnya laki-laki melakukan refleksi mendalam. Jangan sampai justru tersingkir karena gagal beradaptasi dengan zaman. Jangan terus berlindung di balik warung kopi sambil menyalahkan sistem. Dunia sudah berubah. Perempuan tidak lagi di belakang. Mereka sudah sejajar, bahkan dalam banyak hal, telah melampaui.

Laki-laki yang dulu terbiasa didahulukan karena patriarki, kini harus mulai membuktikan bahwa mereka memang layak di depan karena kompetensi, bukan karena jenis kelamin.

Kita juga perlu memastikan bahwa birokrasi berjalan adil dan proporsional. Bahwa rekrutmen ASN harus tetap berdasarkan merit dan kompetensi, bukan kuota atau belas kasihan. Bahwa siapa pun, laki-laki atau perempuan, harus diberi ruang untuk berkembang asal mereka siap bekerja keras dan menjunjung integritas.

Penutup: Dari Refleksi ke Aksi

Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari proses panjang. Bukan semata karena kebijakan atau formasi CPNS. Tapi karena transformasi sosial yang pelan-pelan menggeser tatanan lama menuju struktur baru yang lebih setara.

Jika hari ini kita melihat perempuan lebih banyak di ruang-ruang birokrasi, jangan buru-buru menyalahkan siapa pun. Sebaliknya, ini harus menjadi refleksi bagi kita semua, terutama kaum laki-laki, untuk berbenah, memperbaiki etos, dan kembali bekerja dengan sepenuh hati.

Budaya patriarki memang belum hilang sepenuhnya. Tapi ia sedang goyah. Dan dalam kegoyahan itu, kita ditantang untuk membangun budaya baru—budaya kerja yang berkeadilan, profesional, dan manusiawi.

Mari kembali ke ruang kerja, bukan ke warung kopi.

Catatan: Penulis adalah Guru SD Negeri Kp. Blang Iboih Kabupaten Pidie

16
Tags: ASN Laki-LakiASN perempuanBudaya Patriarki
Previous Post

Camat Bandar Baru Abdullah, SE Ajak Masyarakat Siren Bersatu Bangun Des

Next Post

Pakar dan Tokoh Aceh Hadir di Forum Ideologi PPA, Prof Marniati Tegaskan Komitmen Perubahan

Redaksi

Redaksi

Next Post
Pakar dan Tokoh Aceh Hadir di Forum Ideologi PPA, Prof Marniati Tegaskan Komitmen Perubahan

Pakar dan Tokoh Aceh Hadir di Forum Ideologi PPA, Prof Marniati Tegaskan Komitmen Perubahan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber

Hak Cipta Asakita.news © 2024 MUSTAKIM

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Nasional
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Pariwara
  • Siswa Menulis
  • Suara Guru
  • Suara Kita

Hak Cipta Asakita.news © 2024 MUSTAKIM

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In