Oleh: Hasan Basri, S.Pd., MM
Hidup memang bak ombak di lautan, tak bisa diprediksi. Terkadang ia datang dengan gelombang tinggi yang menguji, membawa serta berbagai masalah dan tantangan. Di lain waktu, ia melandai, menawarkan ketenangan dan kesempatan untuk bernapas.
Namun, satu hal yang pasti, setiap ombak pada akhirnya akan pecah. Ini bukan akhir, melainkan sebuah transformasi, sebuah tanda bahwa siklus telah usai dan yang baru akan dimulai. Dalam pusaran tak terduga ini, ada dua hal mendasar yang harus kita pelajari dan pahami agar hidup menjadi lebih seimbang: ilmu tahu diri dan ilmu batas diri.
Dua ilmu ini, yang seringkali tidak pernah dibahas di bangku perkuliahan, justru kita temukan dan pahami dalam perjalanan hidup yang sesungguhnya. Ilmu tahu diri adalah tentang kesadaran. Ini adalah pemahaman akan siapa kita, apa kekuatan kita, dan apa kekurangan kita. Kesadaran ini bukan sekadar refleksi sesaat, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang mengantar kita pada penerimaan diri seutuhnya.
Dengan tahu diri, kita tidak akan mudah goyah oleh pujian atau terpuruk oleh kritik. Kita mengenal pondasi diri, yang memungkinkan kita berdiri tegak di tengah badai.
Sementara itu, ilmu batas diri adalah tentang keselamatan. Ini adalah pemahaman akan seberapa jauh kita bisa melangkah, kapan saatnya berhenti, dan di mana garis merah yang tidak boleh kita lewati. Batas diri bukan berarti membatasi potensi, melainkan menjaga diri dari kehancuran. Ia adalah perisai yang melindungi kita dari tindakan impulsif, ambisi buta, atau interaksi yang merugikan.
Dengan memahami batas diri, kita dapat mengambil keputusan yang bijaksana, melindungi kesehatan mental dan fisik, serta menjaga hubungan tetap harmonis.
Keberanian untuk hidup sejatinya adalah keberanian untuk berbuat sesuatu. Jika tidak, apa bedanya dengan ketiadaan? Setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bentuk pengakuan bahwa kita hadir, bahwa kita memiliki peran dalam narasi kehidupan ini. Ini adalah bukti bahwa kita memilih untuk tidak pasif, melainkan menjadi pelaku aktif dalam setiap babak yang disajikan.
Semakin tinggi “status” kita—entah itu dalam pencapaian, tanggung jawab, atau kedewasaan—semakin banyak pula masalah yang bertubi-tubi datang menyapa. Ini bukan kutukan, melainkan sebuah ujian. Ujian akan kesiapan mental dan ketabahan hati kita untuk “naik kelas” dalam kehidupan. Ibarat pohon yang semakin tinggi, ia harus bersiap menghadapi angin yang semakin kuat.
Akarnya harus semakin dalam, batangnya harus semakin kokoh, agar mampu bertahan dan terus tumbuh. Begitu pula dengan kita, setiap tantangan adalah kesempatan untuk menguatkan akar kebijaksanaan dan batang ketabahan.
Maka, setiap gerak dan langkah yang kita ambil hendaknya mempertimbangkan segala konsekuensi yang akan kita petik. Bukan berarti kita harus hidup dalam ketakutan atau keraguan, melainkan dengan kesadaran penuh. Kesadaran bahwa pilihan hari ini akan membentuk realitas esok.
Hidup adalah tentang memproyeksikan segala kemungkinan—baik yang menyenangkan maupun yang menantang—dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan bijaksana.
Jadi, apakah Anda siap untuk menari bersama ombak kehidupan, menerima setiap pecahannya sebagai pelajaran, dan terus berani melangkah dengan kesadaran akan tahu diri dan batas diri? ( HBJ)
Jeunieb, 10 Juni 2025