Abua Muda: Dari Tripoli ke Nanggroe Aceh, Sekjen Partai Aceh yang Ditempa Bara Perjuangan dan Menjadi Penjaga Damai
Asakita.news- Pidie Jaya – Nama Aiyub Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abua Muda di kalangan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), adalah sosok yang jejaknya tertulis jelas dalam sejarah panjang konflik dan perdamaian Aceh. Dari medan latihan di Libya hingga ke meja pemerintahan di Pidie Jaya, Abua menunjukkan transformasi seorang pejuang sejati—yang tahu kapan harus mengangkat senjata dan kapan harus merangkul perdamaian.
Lahir di Dusun Lhok Duuk, Gampong Sarah Panyang, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie, pada 2 Mei 1969, Abua menempuh pendidikan di Pesantren Darussa’dah Pusat, Teupin Raya. Tapi jalan hidupnya tak berhenti di sana. Tahun 1987, ia berangkat ke Tripoli, Libya, bergabung dengan ratusan pemuda Aceh yang dilatih secara militer oleh GAM, dalam ikhtiar memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh yang terpinggirkan.
Kepulangannya dari Libya menjadikannya bagian dari gerakan bawah tanah yang menuntut keadilan dan martabat bagi rakyat Aceh. Selama bertahun-tahun, konflik bersenjata menjadi bagian dari realitas hidupnya, hingga akhirnya titik balik itu datang—15 Agustus 2005. MoU Helsinki ditandatangani. Damai dirajut, peluru dihentikan, dan senjata disimpan.
Pasca perjanjian damai, Abua Muda adalah satu dari sekian eks kombatan yang memilih jalan politik untuk memperjuangkan cita-cita lama dengan cara yang baru. Ia aktif dalam Partai Aceh, partai yang menjadi wadah perjuangan dalam sistem demokrasi. Rakyat memberikan kepercayaan, dan pada 3 Februari 2014, Abua dilantik sebagai Bupati Pidie Jaya.
Masa kepemimpinannya diwarnai ujian besar, termasuk gempa bumi yang mengguncang Pidie Jaya pada 2016. Namun dalam krisis itu, karakter kepemimpinan seorang mantan kombatan terlihat: tangguh, cepat tanggap, dan mengutamakan rakyat. Ia tidak lagi memegang senjata, melainkan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin daerah.
Kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Aceh, Abua terus menjadi penghubung antara semangat perjuangan masa lalu dan semangat membangun masa depan yang damai. Bagi banyak orang, ia adalah lambang transformasi dari konflik menuju rekonsiliasi. Seorang tokoh yang menyadari bahwa perdamaian adalah kemenangan tertinggi dalam setiap perjuangan.
“Damai bukan berarti kita berhenti berjuang. Justru, inilah fase terberat: menjaga kepercayaan rakyat dan memastikan keadilan tetap hidup dalam sistem,” demikian salah satu kutipan yang sering ia sampaikan dalam berbagai kesempatan.
Melalui semangat itu pula, Abua mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh—mantan kombatan, tokoh adat, pemuda, ulama, perempuan, hingga generasi milenial—untuk bersatu membangun Aceh.
Persatuan dan kekompakan seluruh komponen bangsa di Bumi Serambi Mekkah ini adalah kunci untuk memastikan damai yang telah susah payah diraih tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi fondasi masa depan yang sejahtera, adil, dan bermartabat.***