BANDA ACEH – A. Malik Musa, SH, MH, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, menegaskan bahwa perdamaian Aceh merupakan rahmat terbesar dari Allah SWT. Menurutnya, tanpa campur tangan Tuhan, mustahil perdamaian ini dapat terwujud setelah 30 tahun konflik bersenjata yang meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh. “Tiga dekade perang membuat mayat manusia bergelimpangan di mana-mana, nyawa melayang hampir setiap hari, bahkan banyak korban tidak berdosa yang terlibat tanpa mengetahui apa-apa. Kerugian materi pun sangat besar. Karena itu, rakyat Aceh harus meningkatkan keimanan kepada Allah sebagai bentuk rasa syukur,” ujar Malik Musa.
Ia menjelaskan, dua dekade perdamaian yang telah berjalan perlu menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh, khususnya dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terdampak konflik panjang. Menurutnya, jika pemulihan sosial-ekonomi akibat perang memakan waktu 30 tahun, maka proses penyehatan ekonomi Aceh juga memerlukan waktu yang setara. “Kita tidak bisa berharap semuanya pulih hanya dalam hitungan singkat. Butuh kesabaran, strategi tepat, dan dukungan penuh dari pemerintah pusat,” tambahnya.
Malik Musa mengingatkan bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami yang dijalankan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) semestinya tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pemulihan ekonomi masyarakat. Ia mengungkapkan, sisa dana sebesar Rp12 triliun dari BRR yang awalnya untuk bencana Aceh kini telah dialihkan ke Bappenas dan dijadikan dana penanggulangan bencana nasional. “Padahal, jika dana itu digunakan untuk membangun kebun bagi kombatan dan janda syuhada, serta pemberdayaan ekonomi desa sesuai potensi lokal, maka dalam 15 tahun Aceh sudah bisa makmur,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong gubernur Aceh yang baru nantinya agar memanfaatkan momentum empat tahun ke depan untuk memperjuangkan alokasi anggaran khusus dari Presiden RI bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama bagi para mantan kombatan yang telah menaruh harapan pada janji perdamaian. Malik Musa menilai, langkah ini harus diwujudkan melalui pembentukan tim khusus pemberdayaan ekonomi Aceh dengan anggaran terpisah dari APBN reguler.
Tim tersebut, kata Malik Musa, harus memetakan secara rinci jumlah penduduk miskin di Aceh yang kini diperkirakan mencapai dua juta jiwa. Mereka harus menjadi prioritas dalam program pengentasan kemiskinan. “Tim ini minimal bekerja selama lima tahun, dengan target menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Jika tidak segera dilakukan, saya khawatir akan timbul kesenjangan sosial yang lebar antara yang miskin dan kaya, yang pada akhirnya bisa memicu kerawanan sosial baru,” paparnya.
Selain itu, Malik Musa menekankan pentingnya pemerintah Aceh membuat regulasi bersama pemerintah pusat terkait pengelolaan hasil tambang dan sumber daya alam. Ia mengusulkan agar pengelolaan dilakukan langsung oleh Pemerintah Aceh melalui PT PEMA, BUMD kabupaten/kota, dan BUMG di setiap gampong. Langkah ini diyakini mampu meningkatkan pendapatan asli daerah dan mempercepat pemerataan ekonomi.
Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam yang dikelola langsung oleh Aceh tidak hanya akan meningkatkan PAD, tetapi juga memberikan kesempatan kerja luas bagi masyarakat lokal. Hal ini dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang untuk mengurangi pengangguran dan mengangkat taraf hidup rakyat Aceh.
Malik Musa mengakhiri pernyataannya dengan pesan moral kepada seluruh masyarakat Aceh agar senantiasa menjaga dan merawat perdamaian yang telah diperjuangkan dengan harga yang mahal. “Perdamaian ini adalah amanah sekaligus anugerah. Kita wajib mensyukurinya dengan memperkuat persatuan, meningkatkan kualitas iman, dan bekerja keras membangun Aceh menjadi daerah yang maju, adil, dan sejahtera,” tutupnya.