Oleh, Abdul Hamid
Di sebuah kampung kecil di ujung barat Nusantara, seorang anak laki-laki lahir dari keluarga Aceh yang sederhana. Tahun 1998 menjadi saksi hadirnya Atar ke dunia—anak yang tumbuh di bawah bimbingan adat, agama, dan petuah-petuah kearifan orang tua. Sejak kecil, Atar sudah terbiasa dengan kehidupan yang disiplin. Setelah menamatkan sekolah dasar di kampung halamannya, ia memilih jalan pendidikan berbasis pesantren. Di sana, pagi dan malamnya diisi dengan doa, belajar kitab, dan kerja keras yang membentuk jiwanya menjadi tangguh.
Selepas pesantren, Atar melanjutkan pendidikan ke Universitas Syiah Kuala (USK), Fakultas Pertanian. Dunia perkuliahan membuka cakrawala baru baginya. Ia belajar bahwa ilmu tak hanya untuk menambah pengetahuan, tapi juga untuk mengabdi kepada tanah kelahiran. Lulus dari USK, tanpa jeda ia melangkah lebih jauh ke Institut Pertanian Bogor (IPB) — melanjutkan studi pascasarjana. Di kampus yang dikelilingi rimbun pepohonan dan udara sejuk itu, hidup Atar berubah arah.
Di sanalah takdir mempertemukannya dengan seorang gadis Sunda — Ayu namanya, lahir di Jakarta dan menetap di Mandalawangi, Pandeglang, Banten. Ayu adalah sosok yang cerdas, lembut, dan teguh pendirian. Ia juga tengah menempuh pendidikan pascasarjana di IPB, jurusan Sosiologi. Mereka bertemu dalam sebuah kegiatan kampus, lalu berlanjut dalam percakapan yang tak lagi berhenti.
Yang semula hanya perbincangan seputar riset dan metodologi, lambat laun berubah menjadi dialog hati. Dari situ tumbuh rasa saling mengagumi. Atar jatuh hati pada kelembutan Ayu, sementara Ayu terpikat oleh keteguhan dan kesantunan Atar.
Dua insan dari dua dunia yang berbeda — satu dari Tanah Rencong yang keras dan penuh semangat juang, satu lagi dari tanah Pasundan yang lembut dan penuh tutur — akhirnya sepakat memadu kasih dalam ikatan suci. Cinta mereka menjadi jembatan dua suku besar Nusantara.
Setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana masing-masing, mereka memutuskan untuk menikah. Ijab kabul diucapkan dengan lantang oleh Atar, sementara Ayu menunduk haru dalam balutan kebaya Sunda yang anggun. Di sisi lain, lantunan doa dan shalawat khas Aceh mengiringi prosesi akad.
Pernikahan itu menjadi simbol pertemuan dua budaya — Aceh dan Sunda — dalam satu rumah tangga.
Di hari-hari pertama setelah pernikahan, banyak hal baru yang harus mereka pahami bersama. Bagi Atar, sarapan dengan nasi timbel dan sayur asem terasa asing, sebagaimana Ayu juga harus terbiasa dengan kuah pliek u, kuah asam keu eung dan sambal udang khas Aceh yang aromanya tajam namun menggoda.
Bahasa pun menjadi jembatan yang menarik. Kadang Atar tanpa sadar menyelipkan kata-kata Aceh seperti “keuh” atau “jih”, sementara Ayu menjawab lembut dengan logat Sunda yang khas, “Enya, kang…” Dua aksen yang berbeda, tapi justru menambah warna percakapan mereka di meja makan.
Dari situlah, perlahan tercipta harmoni baru — sebuah percampuran nilai, rasa, dan kebiasaan yang melahirkan “budaya kecil” dalam rumah tangga. Dalam keluarga Atar dan Ayu, ucapan salam khas Aceh “Assalamu’alaikum lon sayang” berdampingan dengan sapaan manja “Nya, tos tuang?”.
Mereka hidup di tengah keberagaman, bukan untuk meniadakan salah satu, melainkan saling melengkapi.
Ayu belajar banyak tentang filosofi Aceh yang religius, tentang pentingnya meuseuraya (gotong royong) dan adat ngon syara’ lagee zat ngon sifeut — adat dan syariat ibarat zat dan sifat, tak terpisahkan. Sementara Atar belajar dari budaya Sunda tentang someah hade ka semah — keramahan dan kehalusan hati dalam menerima tamu dan sesama.
Dari situ, keduanya menemukan makna baru: cinta bukan sekadar penyatuan dua hati, tetapi juga pertemuan dua dunia yang membawa warisan masing-masing.
Atar dan Ayu kini hidup dalam keseharian yang penuh cerita. Di rumah mereka, kadang terdengar lantunan zikir Aceh bersahut dengan tembang Sunda yang lembut. Anak-anak mereka kelak mungkin akan tumbuh dengan bahasa campuran — menyapa “abah” di pagi hari, dan memanggil “umi” menjelang malam.
Dari pernikahan lintas suku ini, akan lahir generasi baru yang membawa semangat kebhinekaan sejati — generasi yang tumbuh dari kasih sayang tanpa batas suku, tanpa batas daerah.
Karena sejatinya, setiap pernikahan lintas budaya adalah jembatan kecil menuju Indonesia yang lebih utuh.
Dan Atar serta Ayu telah membangun jembatan itu, dengan cinta sebagai pondasinya.
Catatan Penulis:
Pernikahan lintas budaya seperti Atar dan Ayu bukan sekadar kisah cinta dua insan. Ia adalah bentuk nyata dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika — berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dalam setiap pertemuan dua adat, akan selalu lahir harmoni baru yang memperkaya khazanah bangsa.
Atar mungkin membawa semangat pejuang dari Tanah Rencong, sementara Ayu menyulamnya dengan kelembutan Pasundan. Dari keduanya, Indonesia mendapatkan pelajaran berharga: bahwa cinta, bila dijaga dengan nilai dan rasa hormat, akan selalu melahirkan peradaban yang indah.
Mandalawangi, 29/10/2025


