BANDA ACEH –Aceh Gelap 30 jam lebih Bang Jack Libya: PLN Aceh Gagal, Segera Copot GM UID PLN Aceh Surplus listrik Aceh diekspor ke Sumatera Utara, sementara Banda Aceh sebagai ibukota justru tanpa pembangkit sendiri dan dibiarkan gelap gulita.
Pemadaman listrik massal kembali melumpuhkan Aceh. Banda Aceh sebagai ibukota provinsi ikut gelap, ekonomi terhenti, usaha IT tidak beroperasi, peralatan elektronik banyak yang rusak, hingga tambak udang gagal berfungsi karena pompa air mati. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem kelistrikan Aceh yang mestinya bisa menjadi penopang utama ekonomi rakyat.
Ironisnya, Aceh sejatinya memiliki surplus listrik besar. Dengan beroperasinya PLTU Nagan Raya (650 MW), PLTMG Arun (250 MW), dan PLTA Peusangan (88 MW), kapasitas daya Aceh mencapai 814–1.070 MW. Padahal beban puncak daerah hanya sekitar 557–631 MW. Artinya, ada kelebihan puluhan hingga ratusan MW yang tidak dimanfaatkan untuk rakyat Aceh, melainkan dialirkan ke Sumatera Utara untuk menopang industri di Medan melalui interkoneksi 150 kV dan 275 kV.
Jubir Komite Peralihan Aceh (KPA), Bang Jack Libya, mengecam keras kebijakan ini.
Ini penghinaan bagi rakyat Aceh! Surplus listrik kita diekspor ke Sumut, sementara rakyat Aceh gelap-gelapan. Industri Medan terang benderang, tambak dan usaha di Aceh mati total. Kalau PLN tidak mampu, biar Aceh yang kelola listriknya sendiri!”
Bang Jack menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam, bahkan siap menempuh jalur hukum.
KPA Aceh akan mengajukan gugatan class action terhadap PLN. Kerugian yang ditanggung bangsa Aceh ini bukan hanya materiil, tapi juga immateriil. Bangsa Aceh berhak menuntut, dan PLN wajib bertanggung jawab penuh,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bang Jack Libya menilai PLN Aceh sudah gagal dalam menjalankan tugasnya. Ia mendesak Dirut PLN Pusat segera mencopot GM UID PLN Aceh karena dianggap tidak becus mengurus kebutuhan listrik masyarakat.
Bang Jack juga memperingatkan:
Kalau pemadaman ini terus dibiarkan, jangan salahkan rakyat Aceh kalau turun ke jalan. Ini bukan sekadar soal lampu padam, ini soal harga diri Aceh!”
Situasi ini menyingkap paradoks menyakitkan: Aceh sebagai daerah kaya energi justru menderita krisis pasokan untuk dirinya sendiri. Selama listrik Aceh lebih diprioritaskan untuk industri luar, sementara Banda Aceh bahkan tidak memiliki pembangkit listrik sendiri, rakyat Aceh akan terus jadi korban. Tuntutan agar listrik dikelola secara mandiri oleh Aceh kini menguat, bukan hanya sebagai solusi teknis, tapi juga sebagai simbol perjuangan martabat daerah.[]