“Ini penghinaan bagi Aceh! Kami surplus listrik, tapi rakyat Aceh gelap gulita. Industri Sumut terang benderang, sementara tambak udang di Pidie dan Aceh Utara mati karena pompa listrik berhenti. PLN harus bertanggung jawab, dan kalau tidak mampu, biar Aceh kelola listriknya sendiri!”
ASAKITA.NEWS| BANDA ACEH –Pemadaman listrik massal kembali melanda Aceh, termasuk Banda Aceh sebagai ibukota Aceh. Aktivitas ekonomi lumpuh: usaha IT berhenti, peralatan elektronik rusak, hingga tambak udang gagal beroperasi karena pompa air tidak berjalan. “Ini keterlaluan, ekonomi Aceh mati total,” tegas Ketua KPA Aceh, Bang Jack Libya.
Ironisnya, di balik pemadaman itu, Aceh sejatinya memiliki surplus listrik besar. Data hingga 2025 menunjukkan, dengan tambahan kapasitas pembangkit PLTU Nagan Raya (650 MW), PLTMG Arun (250 MW), dan PLTA Peusangan (88 MW), Aceh punya daya 814–1.070 MW. Padahal beban puncak hanya sekitar 557–631 MW. Artinya, Aceh kelebihan listrik puluhan hingga ratusan MW setiap hari.
Namun, kelebihan itu bukan dinikmati rakyat Aceh, melainkan dialirkan ke Sumatera Utara untuk menopang industri di Kawasan Industri Medan (KIM). Rata-rata 60–100 MW listrik Aceh dikirim ke Sumut, sementara Banda Aceh – sebagai ibukota – bahkan tidak memiliki pembangkit listrik sendiri.
“Ini penghinaan bagi Aceh! Kami surplus listrik, tapi rakyat Aceh gelap gulita. Industri Sumut terang benderang, sementara tambak udang di Pidie dan Aceh Utara mati karena pompa listrik berhenti. PLN harus bertanggung jawab, dan kalau tidak mampu, biar Aceh kelola listriknya sendiri!”
Ia menegaskan, kesabaran rakyat ada batasnya. “Kalau pemadaman ini terus terjadi, jangan salahkan rakyat Aceh kalau turun ke jalan. Jangan main-main dengan kebutuhan dasar rakyat. Lebih baik listrik dikelola Aceh untuk Aceh, bukan untuk menghidupkan industri di luar!”
Situasi ini memperlihatkan paradoks: Aceh kaya energi, tapi miskin pemanfaatan. Selama ekspor listrik ke Sumut lebih diutamakan daripada kepentingan lokal, pemadaman akan terus menjadi luka lama. “Ini bukan sekadar lampu padam,” pungkas Bang Jack, “ini soal harga diri Aceh.”