Oleh: Abdul Hamid
Setiap bangsa selalu diuji, bukan hanya di medan perang, melainkan juga dalam ruang-ruang publik tempat suara rakyat bergema. Bagi Aceh, ujian itu hadir pada 1 September 2025. Di hari itu, jalan-jalan di Banda Aceh dan sejumlah daerah lain dipenuhi mahasiswa serta warga yang turun menyampaikan aspirasi. Bukan untuk membuat gaduh, bukan pula untuk merusak. Mereka hadir dengan tekad menunjukkan kepada dunia: inilah wajah demokrasi Aceh, demokrasi sejati yang lahir dari budaya damai, rasional, dan beradab.
Demokrasi dan Jati Diri Aceh
Aceh sejak dahulu dikenal sebagai tanah perjuangan. Dalam hikayat sejarah, Sultan Iskandar Muda memimpin kerajaan yang berwibawa, disegani hingga ke semenanjung Melayu. Pada masa kolonial, rakyat Aceh dikenal gigih melawan penjajahan, hingga dunia mencatat Perang Aceh sebagai salah satu perang terpanjang dalam sejarah modern.
Namun ada satu ciri khas lain: perlawanan Aceh bukanlah anarki tanpa arah. Ia selalu dibingkai dengan nilai, agama, dan budaya. Bahkan, ketika pertempuran usai, rakyat Aceh tetap menjunjung tinggi martabat, tidak melampiaskan dendam pada fasilitas publik atau kehidupan rakyat biasa. Di sinilah terletak jati diri kita: bangsa yang tegas, tapi sekaligus menjunjung kehormatan.
Tradisi itu kini menemukan bentuk baru dalam praktik demokrasi. Demonstrasi bukan lagi soal bentrokan fisik atau unjuk kekuatan, melainkan sarana warga negara untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Inilah ruh checks and balances: rakyat berhak mengingatkan negara agar tidak keluar dari rel kepentingan publik.
Mahasiswa Sebagai Penjaga Moral Bangsa
Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa Aceh selalu punya peran penting. Tahun 1998, mahasiswa menjadi bagian dari arus besar reformasi yang meruntuhkan rezim otoriter. Di tingkat lokal, mahasiswa Aceh berulang kali tampil mengoreksi kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat.
Mereka bukan pengganggu stabilitas, melainkan penjaga moral bangsa. Aksi 1 September 2025 adalah kelanjutan dari tradisi itu. Mahasiswa dan masyarakat hadir bukan karena benci, melainkan karena peduli. Mereka ingin memastikan bahwa demokrasi di Aceh tetap sehat, terbuka, dan berpihak pada rakyat kecil.
Kita sering lupa, bahwa kewarganegaraan (citizenship) bukan hanya soal hak memilih dalam pemilu. Lebih dari itu, ia juga kewajiban moral untuk terlibat, mengawasi, bahkan mengingatkan. Itulah yang dijalankan mahasiswa Aceh dalam demo damai kali ini.
Keterbukaan Informasi sebagai Senjata Baru
Aceh punya keunggulan lain yang jarang disorot: keterbukaan informasi publik. Dalam beberapa tahun terakhir, badan publik di Aceh semakin baik dalam menyediakan data dan informasi yang bisa diakses masyarakat.
Bagi aktivis dan mahasiswa, ini adalah senjata baru. Informasi bukan hanya bahan baca, melainkan alat pengawasan yang sahih. Ketika rakyat ingin mengkritik, mereka tidak lagi mengandalkan gosip atau isu liar, tetapi data resmi yang bersumber dari lembaga publik. Dengan begitu, aksi massa bisa semakin rasional dan terarah.
Ini penting ditekankan: keterbukaan informasi publik adalah jantung demokrasi modern. Tanpa transparansi, kritik bisa liar, tuntutan bisa mengambang. Tetapi dengan data yang terbuka, rakyat bisa melakukan kontrol sosial yang cerdas, efektif, dan berkelanjutan.
Damai sebagai Pilihan
Aceh adalah bangsa cinta damai. Kita punya sejarah panjang konflik, dan dari sejarah itu kita belajar: kekerasan tidak pernah melahirkan kemenangan sejati. Kemenangan sejati lahir dari kemampuan menjaga ketertiban, rasionalitas, dan kedewasaan.
Demo damai 1 September 2025 adalah bukti nyata. Tidak ada perusakan fasilitas umum, tidak ada anarkis, tidak ada provokasi yang merugikan rakyat. Fasilitas publik adalah milik bersama; menjaganya justru bagian dari perjuangan. Dengan cara inilah, rakyat Aceh ingin menunjukkan kedewasaan politiknya.
Maka, ketika dunia menoleh ke Aceh, yang mereka saksikan bukanlah kerusuhan, melainkan wajah demokrasi sejati: rakyat yang berani bersuara, tetapi tetap menghargai ruang bersama.
Pesan untuk Pemerintah
Namun, tentu saja pesan dari aksi damai tidak boleh diabaikan. Pemerintah harus memandang demo bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai masukan berharga. Sebab, rakyat yang bersuara keras hari ini adalah rakyat yang peduli, bukan rakyat yang acuh.
Jika aspirasi didengar, kepercayaan akan tumbuh. Jika diabaikan, kekecewaan bisa melebar. Di sinilah pemerintah diuji: apakah ia mau membuka telinga, atau menutup diri?
Demokrasi Aceh akan semakin bermakna jika ada dialog yang sehat antara rakyat dan pemerintah. Aksi damai hanyalah pintu awal; sisanya ditentukan oleh sikap negara dalam merespons.
Aceh di Mata Dunia
Kita tidak boleh lupa, Aceh selalu punya sorotan khusus di mata dunia. Sejarah konflik, perjanjian damai Helsinki, hingga status keistimewaan dan kekhususan Aceh menjadikan daerah ini sering menjadi barometer demokrasi di Indonesia.
Jika Aceh bisa menunjukkan bahwa kritik dapat disampaikan dengan damai, rasional, dan beradab, maka Aceh telah memberi pelajaran berharga bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia.
Sejarah akan mencatat bahwa bangsa Aceh bukan hanya pernah berperang melawan kolonial, tetapi juga pernah mengajarkan bagaimana demokrasi dijalankan dengan bermartabat.
Penutup
Demonstrasi 1 September 2025 adalah cermin jati diri kita sebagai bangsa. Mahasiswa dan rakyat yang turun ke jalan membuktikan bahwa demokrasi tidak harus gaduh, tidak harus anarkis, dan tidak harus menakutkan. Demokrasi justru indah ketika dijalankan dengan damai.
Maka, mari kita rawat ruang damai ini. Mari jadikan keterbukaan informasi sebagai instrumen pengawasan, dan mari kita pahami bahwa aspirasi rakyat adalah energi positif untuk perbaikan.
Pada akhirnya, dunia akan mengakui: Aceh bukan hanya tanah para pejuang, tetapi juga tanah demokrasi sejati. Sebagaimana pepatah kita, Bangsa Aceh memang Teuleubeh ateuh Rhueng Donya—unggul dalam martabat, arif dalam menjaga peradaban.**
*Penulis adalah warga Aceh, pemerhati pendidikan dan sosial.