Oleh: Nazaruddin, S.Pd., MM
Bagi banyak ayah, tantangan terbesar bukanlah orang lain, bukan pula situasi di luar dirinya. Musuh utamanya justru adalah pikirannya sendiri. Setiap hari, ia terjebak dalam medan tempur tak kasat mata, di mana lawan yang dihadapi adalah kekhawatiran, rasa tanggung jawab, dan ambisi yang terus membisikkan berbagai tuntutan.
Pertarungan itu dimulai bahkan sebelum ia membuka mata. Pikiran tentang tagihan yang harus dibayar, pendidikan anak yang harus dijamin, masa depan keluarga yang harus diamankan—semua berputar di kepalanya seperti kaset yang tak pernah berhenti. Saat orang lain sibuk mempersiapkan diri untuk beraktivitas, ia sudah terlebih dahulu “berperang” dengan strategi hidup hari ini.
Di tempat kerja, pikirannya kembali mengingatkan bahwa ia tak boleh gagal. Setiap keputusan harus tepat, setiap langkah harus terukur. Ada perasaan bahwa satu kesalahan saja bisa mengganggu ketenangan rumah tangga. Dan ketika hari berakhir, tubuhnya memang pulang, tetapi pikirannya belum tentu ikut kembali. Ia masih memikirkan pekerjaan, masa depan, bahkan masalah yang belum terjadi.
Yang lebih berat, pertempuran ini kadang berlanjut dalam mimpi. Bukan jarang seorang ayah terbangun di tengah malam, terhimpit rasa cemas tanpa sebab yang jelas. Pertarungan batin ini begitu senyap, hingga sering tak ada yang tahu seberapa keras ia berjuang.
Namun, justru di balik semua itu, kekuatan seorang ayah terpancar. Ia tidak menyerah pada pikirannya. Ia belajar berdamai dengan kecemasan, mengubah rasa takut menjadi motivasi, dan menjadikan rasa lelah sebagai tanda bahwa ia tengah berjuang untuk yang ia cintai. Meski musuh itu akan selalu ada, ia memilih untuk tetap bertarung—setiap hari, setiap waktu—demi keluarga yang ia lindungi.
Penulis adalah guru SMAN 1 Jeunib