“Damai ini adalah takdir dari Allah. Tugas kita adalah merawatnya, menjaganya, dan mewariskannya kepada generasi mendatang,”
Asakita.news| Banda Aceh – Dua dekade sudah berlalu sejak lembaran baru sejarah Aceh ditulis di sebuah ruangan perundingan di Helsinki, Finlandia. Tepat pada 15 Agustus 2005, pena yang ditorehkan oleh para perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia menjadi tanda berakhirnya konflik bersenjata yang membekas di hati masyarakat selama puluhan tahun.
Kini, 20 tahun kemudian, suasana damai itu masih terasa hangat di bumi Serambi Mekkah. Anak-anak bermain bebas di halaman sekolah tanpa rasa takut, pasar kembali ramai oleh tawa pedagang dan pembeli, serta desa-desa yang dulu porak poranda kini tumbuh menjadi sentra kehidupan baru.
Anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma, mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk merenungkan betapa berharganya perjalanan menuju perdamaian ini. “Sejak ditandatangani perjanjian damai di Helsinki, kita menikmati suasana damai yang luar biasa. Alhamdulillah, masyarakat Aceh mampu merawatnya dengan baik,” ujarnya di Banda Aceh.
Konflik yang berakhir lewat MoU Helsinki itu berlangsung hampir tiga dekade, meninggalkan luka mendalam dan duka di banyak keluarga. Upaya perundingan sebenarnya sudah berulang kali dilakukan, namun jalan menuju kesepakatan kerap buntu. Baru setelah bencana tsunami pada 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan Aceh, kesadaran bersama tumbuh: bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan luka dan membangun kembali kehidupan.
Pertemuan di Helsinki, yang dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, menjadi momentum penting yang menyatukan dua pihak yang sebelumnya berseberangan. Dengan penuh kesadaran, keduanya sepakat menutup buku panjang peperangan dan membuka lembaran baru rekonsiliasi.
“Damai ini adalah takdir dari Allah. Tugas kita adalah merawatnya, menjaganya, dan mewariskannya kepada generasi mendatang,” tegas Haji Uma.
Ia mengingatkan bahwa perdamaian bukan hanya soal ketiadaan konflik, tetapi juga hadirnya rasa keadilan, persatuan, dan kebersamaan di tengah masyarakat. Stabilitas yang terjaga, kata dia, harus menjadi modal besar untuk membangun Aceh yang lebih sejahtera, bermartabat, dan berdaya saing.
Kini, 20 tahun setelah MoU Helsinki, Aceh berdiri di persimpangan sejarah baru: mempertahankan perdamaian yang telah diamanahkan dan memastikan bahwa generasi muda tumbuh dalam suasana yang aman, bebas dari trauma masa lalu. Seperti pesan Haji Uma, “Damai adalah warisan. Kita semua adalah penjaganya.”


